Pelacur Demokrasi

Oleh : Renaldi

(Anggota Pemerhati Kebijakan Publik dan Advokasi Babel)

Fenomena demokrasi akhir-akhir ini begitu memilukan, kita dipertontonkan dengan dagelan politik yang lucu sekaligus menyedihkan. Drama yang diperankan oleh aktor-aktor Politikus kita begitu menyanyat hati. Ada perasaan kecewa yang kian tidak bisa disembunyikan dari raut wajah kita.

Yang menjadi keheranan adalah, mereka seperti tak punya rasa malu dalam bermain drama itu. Mereka berperan bak pahlawan agar mendapat simpatik dari para pemilih.

Sebentar lagi, Pilkada serentak akan segera berlangsung, alasan dasarnya juga adalah Demokrasi. Dimana akan muncul para pemain baru. Baik itu Bupati/Walikota, hingga kepada Gubernur.

Kita tahu bahwa para Kandidat itu begitu getol cari modal, melemparkan proposal kepada para pengusaha. Namun buruknya kabar tersebut sudah sampai ke Kampung-kampung, orang Desa sudah mampu bercerita tentang biaya Politik dan Perahu Politik yang harus dikuasai Kandidat.

Diluar peserta Independent, dan yang paling buruknya lagi. Orang desa dicekoki kabar, bahwasanya Perahu Politik itu, bayar pakai uang mahar yang jumlahnya amboi. Itulah sebabnya kandidat harus punya banyak uang. Dan ini ada kaitan dengan sikap warga desa yang saat ini, terpaksa menerapkan Wanipiro kepada calon.

Masyarakat desa hari ini sudah berbicara tentang bagaimana persiapan menjadi kepala daerah yang tidak hanya didukung oleh perahu politik, tapi mereka juga membicarakan terkait apa yang mereka dapatkan dari para kandidat calon itu.

Hal inilah yang menyebabkan kenapa banyak kepala daerah melacurkan dirinya hanya untuk membeli dukungan agar mendapatkan kekuasaan itu.

Sudah sekian lama demokrasi kita kehilangan arah dan nahkoda. Kita hanya mampu mengelus dada dan berpikir sampai kapan negeri ini bisa maju dan menyaingi bangsa-bangsa hebat.

Kita nampak kehilangan para pemikir demokrasi bangsa hari ini. Kita berharap itu sebenarnya dimulai dari para akademisi dan kampus yang seharusnya menjadi role model bagaimana memulai demokrasi yang sehat.

Namun nampaknya kampus juga tidak lagi perduli akan demokrasi ini. Melihat banyak kasus yang akhir-akhir ini terjadi, seperti pembajakan demokrasi, kampus tak memberikan sikap dan hanya berdiam diri. Dengan alih-alih memberikan otonomi dan kedaulatan individu kepada mahasiswa.

Hari ini semua nampak dibungkam oleh kekuasaan dan perbudak oleh jabatan.

Hilang sudah demokrasi dalam negara, dimana negara yang seharusnya menjamin kesejahteraan dan kebebasan rakyatnya, baik kebebasan berpolitik, kebebasan pendidikan, kebebasan ekonomi, sampai kebebasan budaya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *